Selamat Datang

SELAMAT DATANG :: SUGENG RAWUH :: ترحيب :: WELCOME :: BIENVENUE :: 的欢迎 :: WELKOM :: BEM-VINDO :: BIENVENIDOS :: καλωσόρισμα

Selasa, 08 Mei 2012

Soundwaves: Piyu, Hitler dan Fasisme

Oleh: Herry Sutresna

Jakarta - "Musisi mah harusnya maen musik ajalah, ga usah ngurus-ngurus politik" – surat pembaca nyampah di Harder Zine, 1999.

Ada waktu ketika musisi tak beda dengan bigot lainnya di muka bumi. Musisi juga manusia, pembenaran paling gampangnya. Pula bukan salah mereka kemudian musisi dianggap punya ruang lebih untuk komentar dan celetukannya lebih didengar dibanding orang biasa. Terima kasih pada budaya populer yang membuat ini memungkinkan. 

Eric Clapton dahulu kala sekali mempelopori celetukan bodoh yang membuat orang tak hanya menaikkan alis mereka. Ia berujar, di atas panggung pula, bahwa Inggris telah menjadi sangat sesak,overcrowded oleh imigran kulit hitam. Ia berteriak "Throw the wogs out! Keep Britain white!" dan kemudian menyerukan orang-orang untuk memilih Enoch Powell, seorang politikus rasis sayap kanan yang, dalam pemahaman Clapton, berguna untuk mencegah Inggris berubah menjadi koloni kulit hitam.

Persis pula saat David Bowie yang pernah melewati waktu menjadi asshole dengan kebodohan dukungannya bagi tiran fasis. I'm a big fan of Mr. Ziggy Stardust's music, namun saya tak bisa mengingkari kenyataan bahwa -meski di kemudian hari ia nyatakan sebagai kesalahan- ia pernah sepakat dengan totalitarianisme dan berujar bahwa "Britain could benefit from fascist leaders.”

Menjadi tak sekedar tertarik pada isi eksotis fasisme, Bowie memuja Hitler yang ia sebut sebagai ‘the first Pop star’ sampai-sampai mengoleksi barang-barang memorial zaman kejayaan Nazi. Menggelikan.

Bahkan, almarhum Johnny Ramone sekalipun, meski banyak orang mengidentikkannya sebagai bagian dari ikon punk, merupakan simpatisan Partai Republik, tepatnya George W. Bush.

Sungguh tidak ‘punk’.

Berteriak "God bless Bush, God bless America!" mendukung program fasistik “Perang Melawan Teror” khas Bush yang busuk itu, membunuhi ratusan ribu orang tak berdosa. Ia mungkin memainkan musik punk, namun pada kesehariannya ia tak banyak berbeda dengan kebanyakan white-supremacists / nasionalis mentok lainnya yang mengganggap Amerika adalah negara superior yang punya kekuatan memerangi siapa saja yang mereka pikir mengancam negaranya, bahkan dengan hanya berbekal bukti kosong yang tak pernah bisa dibuktikan sekalipun.

Dalam ruang dan waktu berbeda, fenomena yang terjadi disini tak jauh berbeda.

Hubungan gelap musisi dan rezim otoritarian memang sudah menjadi bagian dari sejarah kita, bukan lagi rahasia umum. Sejak hari pertama Suharto dan Nasution membangun emporium Orba, sejarah mencatat bahwa mereka melibatkan para musisi karena memang memerlukan media propaganda sempurna bagi agenda arsitek mereka yang pro-kolonialisme dan pemodal global dan kelak cetakbiru-nya dilestarikan selama puluhan tahun.

Sejak penghujung 60-an tercatat berbondong-bondong para seniman dan musisi yang kemudian bergabung di barisan itu. Serasa bebas dari cengkraman otoritarianisme budaya Orde Lama yang mengharamkan ngak-ngik-ngok, musisi Indonesia hanyut dalam plot pencitraan Orba yang cukup cerdik menggunakan budaya populer sebagai simbol pro-kebebasan dan demokrasi.

Dari mulai yang ikut kampanye ABRI sahabat rakyat dari panggung prajurit ke panggung prajurit lainnya saat mereka memburu sisa-sisa simpatisan PKI sampai ke pelosok, tampil di acara pengumpulan dana bagi kegiatan partai politik berkuasa (baca: Golkar), hingga membuat lagu puja-puji pro-rezim berkuasa.

Ah, siapa yang bisa melupakan lagu jilat pantat paling kolosal sepanjang sejarah republik ini berdiri; "Bapak Pembangunan" dari Titik Puspa itu?

Mengingat betapa horornya proses deideologisasi dan depolitisasi seni saat itu yang seiring dengan pemberangusan musisi-musisi kritis, pada titik yang paling pragmatis kita bisa memaklumi mereka yang bekerja (sama) untuk rezim.

Paling tidak untuk alasan keselamatan dan keamanan. Begitu pragmatisnya zaman itu sehingga ketika era itu berakhir sekalipun konon banyak orang yang merindukan zaman Indonesia diberaki otoritarianisme Suharto.

Zaman berganti. Di zaman orang bebas mau ngomong apapun juga seperti sekarang nampaknya agak aneh melihat kelakuan para musisi yang tetap bekerja untuk rezim berkuasa meski kadar fasis-nya dipermak dengan bungkus yang berbeda dan terlihat lebih ‘reformis’.

Secara tidak langsung membuktikan posisi keberpihakan mereka yang bebal dan oportunis klasik khas kelas menengah. Mereka tahu betul posisi pencitraan mereka bisa digunakan untuk mendulang suara di era caleg-calegan seperti sekarang. Untungnya memang musisi-musisi itu adalah mereka yang musiknya tak pernah kita gubris.

Untuk mendengarkan musiknya saja kita ogah apalagi mempercayakan suara kita di gedung parlemen (meskipun kebanyakan dari kita tak pernah masuk lobang hitam TPS a.k.a najis mencoblos). Kita patut bersyukur pada Tuhan bahwa Ahmad Albar tak pernah mencalonkan diri jadi caleg, atau Ucok AKA almarhum semasa hidupnya tak pernah tertarik ikutan pilkada.

Fenomena sedikit berbeda namun cukup mengagetkan terjadi beberapa minggu kemarin ketika saya menemukan satu wawancara gitaris Padi, Piyu, di sebuah situs majalah online yang link-nya diberi seorang kawan.

Tidak tanggung-tanggung ia berujar, "Saya pengen pemimpin seperti Hitler. Walaupun memang ada sisi negatifnya, dia membangkitkan rasa kebangsaan, nasionalisme yang begitu besar. Kita belum punya pemimpin seperti itu, yang ada malah klemar-klemer.”

Ini cukup aneh. Pertama, karena ini komentar yang lahir dari seseorang yang juga besar di era penindasan Suharto. Secara tidak langsung ini berarti penindasan selama Orba dulu belumlah cukup untuk Indonesia.

Seperti kita tahu, sepositif apapun Suharto dahulu, tak pernah bisa membayar kebrutalan rezim itu dengan cara militeristiknya menguasai Indonesia, menghasilkan korban jutaan jiwa, warisan sumber daya alam yang ludes dirampok korporasi, hutang yang luar biasa bagi Indonesia dan warisan dekadensi sosial politik lainnya. Dan ternyata itu tak cukup, menurut Piyu, kita memerlukan yang lebih brutal lagi; Hitler.

Kedua, komentar Piyu ini tercetus di zaman seperti sekarang dimana insureksi global menyeruak di seluruh pelosok dunia. Era dimana para tiran yang awet menghegemoni puluhan tahun rontok satu-satu.

Dimulai di Tunisia merembet ke Aljazair, Libya, memberi letupan di Yaman, Yordania, Bahrain, Suriah dan tentunya Mesir dimana fenomena Tahrir Squre-nya memberi inspirasi dan mempopulerkan metode aksi baru bernama occupy yang bergejolak di hampir seluruh dunia.

Memimpikan bangsa dipimpin despot di era insureksi akar rumput global seperti sekarang ini sama dengan memimpikan musik hiphop nasional berkiblat pada Milli Vanilli di era MC super jenius seperti Eminem merepet ribuan bar.

Secara tidak langsung pula, menurut Piyu, solusi dari ledakan demokrasi yang membuat kita semrawut seperti sekarang ini ternyata bukan terletak pada kekuatan rakyat yang menguat dan semakin sadar untuk perlu mengorganisir diri mereka sendiri tanpa kebigot-an seorang pemimpin, namun terletak pada betapa ternyata kita butuh pemimpin yang tidak klemar-klemer, seperti Hitler. Sekali lagi; Hitler. (Jika Hugo Chavez mungkin agak dimaklumi lah). 

Saya tak begitu paham apa yang ada dibenak Piyu mengatakan itu, entah apakah karena ia terpengaruh David Bowie, Eric Clapton atau Johnny Ramone atau hal lain. Wawancara itu sendiri cukup singkat, tak memberi ruangan banyak untuknya menjelaskan lebih spesifik.

Namun apapun itu, mengidamkan kepemimpinan otoriter untuk progresifitas itu salahsatu kesesatan berpikir para kelas menengah yang paling ngehe.

Pahamkah ia bahwa kepemimpinan militeristik seperti itu hanya bisa dicapai melalui proses penyeragaman massa. Orde Baru dahulu memakai adagium “Menuju Manusia Pancasila Seutuhnya" yang mirip "Manusia Aria" dalam bahasa Hitler. Yang pada prakteknya proses tersebut selalu menggunakan kekerasan.

Dalam wawancara itu ia pun berujar bahwa seorang pemimpin bisa membangkitkan rasa nasionalisme dan kebangsaan dengan berbagai cara dan tak harus dari militer.

“Seperti Hitler, dia seorang seniman dan sipil, tapi dia bisa.”

Memang agak sulit dibayangkan ini keluar dari buah pikir seorang musisi yang karyanya dihormati banyak kalangan. Karena memang kita selalu beranggapan bahwa musisi hebat juga adalah orang yang paham bahwa militerisme itu ngehe.

Tak peduli dilakukan oleh militer atau bukan, militerisme adalah bentuk paling solid dari ide-ide totalitarian. Sama sesatnya dengan berpikir bahwa penyerangan terhadap gerakan pro-demokrasi itu oke selama dilakukan oleh PAM Swakarsa.

Saya akan selalu mengkonter argumentasi depolitisasi musik mirip komentar nyampah di surat pembaca zineHarder dahulu yang saya kutip diatas. Toh musisi atau bukan, sikap politik adalah sesuatu yang tak bisa dihindarkan. Bahkan memutuskan untuk tidak berbuat dan berkata sesuatu sekalipun adalah sikap politik. Tapi yah, konsekuensinya memang akan selalu ada waktu dimana musisi tak ada bedanya dengan banyak bigot diluar sana. 

Bukan salah Piyu pula bahwa mereka yang mengagumi musiknya punya anggapan seharusnya ia main musik sajalah, karena pandangan politiknya ternyata tidak se-progresif album Save My Soul.

Bagi yang tidak terima dan tak percaya bahwa itu ternyata komentar Piyu mari kita ambil enaknya sajalah; Piyu tidak salah, mari kita salahkan wartawan yang mewawancaranya. Pasti wartawannya yang salah kutip.

Yang paling pasti sih, sampai kiamat pun fasisme (atas nama nasionalisme dan kebangsaan sekalipun) adalah salah satu inovasi terbodoh yang pernah manusia buat.

Fascism is not cool, and will never be.

----------------------
*Penulis juga dikenal sebagai Ucok dari grup hip-hop Bandung yang kini telah bubar, Homicide. Ini merupakan kolom ketiga Ucok di Soundwaves RollingStone.co.id.


Sumber : www.rollingstone.co.id
Kamis, 15/03/2012 15:33 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar