Selamat Datang

SELAMAT DATANG :: SUGENG RAWUH :: ترحيب :: WELCOME :: BIENVENUE :: 的欢迎 :: WELKOM :: BEM-VINDO :: BIENVENIDOS :: καλωσόρισμα

Selasa, 08 Mei 2012

Jas Merah Musik Indonesia

Oleh: Denny Sakrie

Guruh Gypsy (Foto: Koleksi Denny Sakrie)
Jakarta - Sungguh ironis, harta karun musik Indonesia yang melimpah ruah sejak dekade 50-an justru diabaikan atau tepatnya disia-siakan oleh pemiliknya sendiri: Siapa lagi kalau bukan kita bangsa Indonesia?

Dokumentasi dalam bentuk rekaman maupun tulisan tak pernah ditemukan dalam bentuk yang lebih fokus, semisal berada dalam sebuah wadah yang namanya Museum Musik. Kenyataannya benda-benda bersejarah musik Indonesia selama ini hanya bersemayam di rumah-rumah milik para kolektor. Kondisi yang sangat miris.

Data-data industri musik Indonesia mulai era 50an hingga sekarang amat sulit untuk dilacak. Kepedulian malah datang dari bangsa lain. Ambil contoh misalnya tentang buku katalog musik Indonesia yang justru ditulis oleh orang asing bernama Hans Pokora, orang Austria yang menulis buku bertajuk Record Collector Dream. 

Buku yang dianggap kitab suci bagi para kolektor musik, terutama piringan hitam dan kaset itu dibuat berseri dengan memuat berbagai album bergenre prog-rock folk, psychedelic rock, hingga world music. Selain itu, memasukkan juga beberapa album musik Indonesia di katalognya, antara lain Ariesta Birawa, Harry Roesli, Koes Bersaudara, Dara Puspita, hingga Guruh Gipsy.

Sejak terbitnya buku ini kegairahan para kolektor vinyl (piringan hitam) dari seantero jagad untuk berburu album-album yang tertuang dalam buku karya Hans Pokora itu kian menjadi-jadi. Bahkan sebuah label kecil di Jerman, Shadoks Music dengan berani merilis ulang album-album itu dalam bentuk CD dan vinyl tanpa izin dari komposer, pemusik serta label Indonesia. Keenan Nasution, drummer dan vokalis Guruh Gipsy lalu mengirim e-mail ke pihak Shadoks untuk menghentikan aksi barbariannya itu.

Beberapa waktu silam saya sempat dihubungi oleh Alan Bishop, pemilik Sublime Frequencies, label kecil dari Seattle Amerika Serikat yang telah merilis ulang album-album Koes Bersaudara, Koes Plus hingga Dara Puspita. Alan Bishop meminta saya dan sahabat saya David Tarigan, sosok penggiat rekaman indie yang juga peduli terhadap data back catalogue untuk menulis buku Katalog tentang musik Indonesia secara ensiklopedik.

Termasuk pula Jason “Mosh” Connoy, seorang kolektor dan pemilik label Strawberry Rain dari Kanada yang beritikad sama dengan Alan Bishop yaitu ingin membuat semacam buku katalog musik Indonesia terutama band-band pop maupun rock di era 60an hingga 70an.

Sebetulnya, itikad yang dicuatkan oleh Alan Bishop maupun Jason “Mosh” Connoy telah saya lakukan beberapa tahun sebelumnya dalam bentuk penulisan buku. Niat itu berangkat dari keprihatinan akan minimnya data-data industri musik di negeri ini.

Lalu bersama Komunitas Pecinta Musik Indonesia, saya menulis dan menjadi editor buku bertajuk “Musisiku” (2007) yang memuat sekita 40 biografi artis dan band Indonesia dari era 50an hingga 80an. Isi buku ini merupakan bunga rampai yang diambil dari rubrik berkala tentang musik Indonesia pada harian Republika.

Di tahun yang sama saya diminta Musica Studio’s untuk membuat semacam scrapbook untuk kemasan 21 album Chrisye dalam bentuk boxset bertajuk Masterpiece Chrisye. Di scrapbook itu saya menulis review serta behind the scene dari penggarapan album-album Chrisye dari tahun 1978 hingga 2004.

Saya juga menulis buku perjalanan karir Keenan Nasution dalam albumnya di tahun 2007 berjudul Apa Yang Telah Kau Buat. Di tahun 2008 saya mendapat pesanan dari Kementrian Pemuda dan Olahrga yang saat itu masih dijabat oleh Adhiyaksa Dault untuk menuliskan riwayat perjalanan musik pop Indonesia yang berlangsung pada komunitas musik Pegangsaan. 

Di era 60an hingga 70an Pegangsaan merupakan tempat ngumpul berbagai pemusik, aktor dan seniman yang pada akhirnya menetaskan sosok-sosok mumpuni dalam dunia seni seperti Guruh Soekarno Putera, Chrisye, Keenan Nasution, Eros Djarot, Achmad Albar, Christine Hakim, termasuk pemusik senior saat itu Mus Mualim dan Idris Sardi. Sayangnya buku yang bertajuk Jejak-Jejak Musikal di Pegangsaan itu belum juga diedarkan oleh Kementrian Pemuda dan Olahraga. Entah kenapa.

Sekarang ini saya tengah menyelesaikan beberapa buku tentang musik yang bersifat ensiklopedik dan historikal antara lain Ensiklopop Indonesia, Dheg Dheg Plas – Perjalanan Musik Koes Plus dan 50 Tahun Rock di Indonesia.

Penulisan buku musik yang bertumpu pada sisi historik memang bukan hal yang mudah, terutama riset data yang cukup panjang dan melelahkan. Saya sendiri berprinsip tak mau gegabah dalam menuliskan data, mulai dari data sosok artis, data rekaman dan peristiwa-peristiwa musik yang pernah terjadi di Indonesia. 

Contoh yang paling ekstrem adalah sejak era vinyl di awal dasawarsa 50-an, terutama sejak berdirinya label seperti Irama dan Lokananta, hampir tak pernah dicantumkan tahun rilis dan publisher sebuah album rekaman. Ini tentunya sangat menyulitkan untuk membuat buku yang berbentuk katalog apalagi ensiklopedi. Data-data personel dalam sebuah produksi rekaman pun sangat kurang bahkan tak ada dalam sampul albumnya.

Akhirnya beberapa alternatif jalan keluar berusaha saya dapatkan antara lain dengan meriset sejumlah media cetak hiburan yang terbit pada era itu. Dan lagi-lagi hal ini juga bukan pekerjaan yang mudah. Untunglah kerabat saya yang banyak berkutat dalam koleksi meng oleksi musik baik dalam bentuk kaset dan piringan hitam serta sejumlah majalah ikut banyak membantu. Tapi penggarapan buku pun menjadi tersendat-sendat. Buku Ensiklopop Indonesia saja telah melewati masa penggarapan hampir 3 tahun lamanya. 

Tapi the show must go on. Saya tetap merasa tercambuk untuk mewujudkan buku-buku sejarah musik Indonesia. Apalagi setiap berkunjung ke beberapa toko buku di Jakarta, hati dan jiwa saya selalu menggelegak manakala melihat tumpukan buku-buku referensi musik manacanegara yang silih berganti terbit dan terbit. Mereka pun menulis buku-buku itu secara komprehensif plus data-data historikal yang runut, detail dan akurat. Mereka tampaknya telah menyadari pentingnya arti sejarah atau dokumentasi dalam setiap sudut kehidupan.

Saya akhirnya mengeluh dan mengeluh tentang perilaku bangsa kita yang ceroboh dan tidak menghargai pentingnya sejarah dan dokumentasi. Saya pun mengangguk tentang akronim yang kerap dikoar-koarkan Presiden RI pertama Ir. Soekarno: JAS MERAH, JAngan Sekali-sekali MElupakan sejaRAH.


Sumber : www.rollingstone.co.id

Selasa, 22/11/2011 20:40 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar