Selamat Datang

SELAMAT DATANG :: SUGENG RAWUH :: ترحيب :: WELCOME :: BIENVENUE :: 的欢迎 :: WELKOM :: BEM-VINDO :: BIENVENIDOS :: καλωσόρισμα

Senin, 14 Mei 2012

Lirik Lagu Sawung Jabo

"Penjelajah Alam"
Akulah Si Penjelajah Alam
Kudaki lereng dan batu karang
Dengan bernyanyi aku melangkah
Melewati sungai serta padang ilalang
Dingin malam dan bintang di langit
Semuanya adalah temanku
Bila pagi telah memanggilku
Aku berseru dan memanggil namaMu
Oh.. Tuhan..
Oh.. Tuhanku..
Aku Cinta PadaMu
Oh.. Tuhan..
Oh.. Tuhanku..
Aku Cinta PadaMu
La..la..la..la..la..la..la..la..la..la..la.. [4x]
Dingin malam dan bintang di langit
Semuanya adalah temanku
Bila pagi telah memanggilku
Aku berseru dan memanggil namaMu
Oh.. Tuhan..
Oh.. Tuhanku..
Aku Cinta PadaMu
Oh.. Tuhan..
Oh.. Tuhanku..
Aku Cinta PadaMu
La..la..la..la..la..la..la..la..la..la..la..

"Jula Juli Anak Negri"
Setan ompong berkaus oblong
Mimpi basah di siang bolong
Banyak cingcong didepan corong
Semu wibawa ternyata garong
Lumba-lumba binatang laut
Main cinta di pintu surga
Hidup kita makin semrawut
Para pemimpin jangan ribut saja
Jula juli anak negri
Biar sedih terus bernyanyi
Berhentilah caci mencaci
Ibu pertiwi sedang sakit gigi
Kami sudah capek
Hidup kami bengek
Kami bukan bebek
Bukan kambing congek
Hee..heya..he..ee..heya..
Hee..heya..heyo..
Bencong ngongkong di pinggir jalan
Hidung pesek dicium traktor
Kongkalingkong demi jabatan
Dasar berengsek otaknya kotor
Ada sagu ada kelapa
Bibir merah saya yang punya
Ini lagu cuma bla bla bla
Siapa bersalah mengaku saja
Kami sudah capek
Hidup kami bengek
Kami bukan bebek
Bukan kambing congek
Hee..heya..he..ee..heya..
Hee..heya..heyo..
Kami sudah capek
Hidup kami bengek
Kami bukan bebek
Bukan kambing congek
Hee..heya..he..ee..heya..
Hee..heya..heyo..
Hee..heya..he..ee..heya..
Hee..heya..heyo..
Hee..heya..he..ee..heya..
Hee..heya..heyo..
Hee..heya..he..ee..heya..
Hee..heya..heyo..

"DihatiMu Aku Berlindung"
Ketika matahari membakar lautan
Ketika matahari membakar dunia
Ketika matahari membakar diri sendiri
DihatiMu aku berlindung
DihatiMu aku berlindung
Ketika badai menghempaskan diriku
Ketika badai Oo...menutupi langkahku
Ketika badai mengguncang guncang hidupku, kekasih..
DihatiMu aku berlindung
DihatiMu aku berlindung
DihatiMu aku berlindung
DihatiMu aku berlindung
Haa.. aaa..aa.. a..haaa...
Ketika bumi ini
Tak berputar lagi
Ketika malaikat
Tak berdoa lagi
Ketika aku
Tak bisa menyanyi lagi..kekasih..
DihatiMu aku berlindung
DihatiMu aku berlindung
DihatiMu aku berlindung
DihatiMu aku berlindung
Haa..aaaa..aaa..a..haa
Ketika matahari membakar diri sendiri
Ketika matahari
Mengguncangngguncang hidupku
Ketika aku..ketika aku.. ketika aku..
Tak bisa menyanyi lagi
Oh..kekasih..
DihatiMu aku berlindung...

"Lingkaran Aku Cinta PadaMu"
Kini kami berkumpul
Esok kami berpencar
Berbicara tentang kehidupan
Berbicara tentang kebudayaan
Berbicara tentang ombak lautan
Berbicara tentang bintang di langit
Kami berbicara tentang Tuhan
Berbicara tentang kesejatian
Tentang apa saja
Malam boleh berlalu
Gelap boleh menghadang
Disini kami tetap berdiri
Disini kami tetap berfikir
Disini kami tetap berjaga
Disini kami tetap waspada
Disini kami membuka mata
Disini kami selalu mencari
Kesejatian diri
Alang alang bergerak
Mata kami berputar
Seperti elang kami melayang
Seperti air kami mengalir
Seperti mentari kami berputar
Seperti gunung kami merenung
Di lingkaran kami berpandangan
Di lingkaran kami mengucapkan
Aku cinta padaMu
Aku cinta padaMu
Aku cinta padaMu
Aku cinta padaMu

"Penari Goyang"
Goyang goyang bergoyang
Penari bergoyang
Remang remang suasana
Di sudut jalanan
Goyang
Penari goyang
Goyang
Penari goyang
Wajah wajah bergincu
Penari jalanan
Bibir bibir yang merah
Mengumbar senyuman
Goyang
Penari goyang
Goyang
Penari goyang
Setiap malam
Di pinggir jalan
Mereka menari
Heeey..dilingkari mata mata liar
Dipenuhi mulut mulut liar
Senyum senyum mereka tersenyum
Penari jalanan
Terus menari
Tak bisa berhenti
Bising bising jalanan
Bisingnya hidup
Penari jalanan
Menahan hidup
Goyang
Penari goyang
Goyang
Penari goyang
Setiap malam
Di pinggir jalan
Mereka menari
Heeey...
Goyang
Penari goyang
Goyang
Penari goyang
Goyang
Penari goyang
Goyang
Penari goyang

"Mat Pleki dan Juwita"
Mat Pleki dan Juwita telah lama bercinta
Berangkat ke kuliah nyasar entah kemana
Dinding dinding kuliah terasa bagai penjara
Pelajaran kuliah difotokopi saja
Mat Pleki dan Juwita berbeda agamanya
Masing masing merasa pendapatnya yang benar
Saat cinta membara lupa akan segalanya
Cinta ataukah nafsu mereka tak peduli
Sepasang remaja menjelajahi surga
Segala nasihat dibuang saja
Hoo..Mat Pleki
Di bakar cinta memuja diri di depan kaca
Hoo..Juwita didalam kamar tersenyum senyum dibakar cinta
Mat Pleki dan Juwita terus saja bercinta
Orang tua mereka garuk garuk kepala
Si Juwita mengandung Mat Pleki jadi bingung
Si Juwita menuntut Mat Pleki sakit perut
Dunia mereka menjadi gelap isinya
Orang tuanya kena getahnya
Hoo..Mat Pleki
Hatinya resah marah marah di depan kaca
Hoo..Juwita
Di dalam kamar meratap sedih ditipu mimpi

"Dongeng Politik"
Oh..politik
Gelanggang adu licik
Sering membuat
Kehidupan makin berisik
Oh..politik
Lahirkan intrik intrik
Oh..politik
Seruwet benang kusut
Mulur mungkret
Seperti permen karet
Akal busuk
Lempar batu sembunyi tangan
Sialan
Oh..sialan
Orang kecil jadi korban
Rebutan kekuatan
Rebutan kekuasaan
Merangkai kata bersilat lidah
Maksudnya tak terduga
Tunggang menunggangi hisap menghisap
Kalau tak butuh lagi
Kita disingkirkan
Habis manis sepah dibuang
Sambil mencari kambing hitam
Habis manis sepah dibuang
Sambil mencari kambing hitam
Berpolitik
Butakan akal sehat
Menghalalkan
Segala macam cara
Kasak kusuk
Bisik bisik
Ah..politik
Sialan
Oh..sialan
Orang kecil jadi korban
Rebutan kekuatan
Rebutan kekuasaan
Merangkai kata bersilat lidah
Maksudnya tak terduga
Tunggang menunggangi
Hisap menghisap
Kalau tak butuh lagi
Kita disingkirkan
Habis manis sepah dibuang
Sambil mencari kambing hitam
Habis manis sepah dibuang
Sambil mencari kambing hitam





"Burung Putih"
Burung putih
Tinggi melayang
Di sela-sela mega putih
Matanya memancar sengit
Suaranya terdengar merintih
Ada apa sebenarnya
Sampai melarikan diri
Dari kehidupan dunia
Bumi yang indah
Terancam nasibnya
Dimana-mana terjadi
Penindasan sesamanya
Keadilan sedang tidur
Bumi yang semakin panas
Si gila bertambah rakus
Burung putih pun menangis
Woo..
Wuoo..hoo.. (3x)
Woo..
Wuoo..hoo.. (3x)
Woo..
Wuoo..hoo.. (3x)
Woo..
Wuoo..hoo.. (3x)
Mengerang jeritan bayi
Di dalam rumah sempit
Rumah yang tak berjendela
Tidak pernah kau sadari
Nasib anak cucu nanti
Haruskah menerima sisa?
Masih punyakah harapan
Harapan tinggal harapan
Seperti mimpi yang indah
Hentikan mengobral janji
Kami bosan mendengarnya
Di depan banyak persoalan
Hentikan mengotori sungai
Masih banyak yang membutuhkan
Hentikan merampok hutan
Hutan ini milik siapa?
Tanah ini siapa punya?
Mereka memiliki apa???
Nyanyian si burung putih
Tak ada yang mendengarkan
Dia terbang semakin jauh

"Begitu Juga Aku MembutuhkanMu"
Di bawah pohon rindang
Di samping bukit cemara
Harumnya mawar liar
Aku mendengar
Suara ribuan harpa
Mengalunkan kemana
Bagai dipetik tangan halus
Bidadari
Menyanyikan lagu
Untukku dan sunyiku
Saat itu aku dimanja
Alam yang ramah
Seramah Ibu memanjakanku
Di masa kecil
Semua itu membuatku
Enggan pulang ke rumah
Terasa damai dalam pelukan
Seorang pertapa
Bagai sedang tidur
Diatas pelangi
Rumput sekelilingku menyibak
Menegurku
Memberitahu aku
Hari menjadi gelap
Suara belalang mulai terdengar
Bersahutan
Beterbangan menyambut datangnya
Sang malam
Semua terasa dekat
Di depan mataku
Bagai belalang membutuhkan malam
Bagai bulan membutuhkan matahari
Bagai ikan membutuhkan air
Bagai lautan membutuhkan pantai
Begitu juga aku membutuhkanMu
Begitu juga aku membutuhkanMu
Begitu juga aku membutuhkanMu

Dalbo / "Sudrun"
Angin panas otak panas
Orang waras jadi ganas
Hawa gerah hidup susah
Ngomongnya ngaco
Dianggap gila
Rumah kontrakkan belum terbayar
Uang habis utang numpuk
Pemasukan belum jelas
Pengeluaran sudah jelas
Ooh..apakah ini
Siapa yang tahu
Tak ada yang tahu
Seringkali kita terpaksa berfikir
Melihat orang yang menjadi gila
Sebab tak sanggup lagi menanggung
Beban hidup yang semakin berat
Seringkali kita terpaksa berfikir
Melihat orang yang menjadi gila
Sebab tak sanggup lagi menanggung
Beban hidup yang semakin berat
Nasib baik belum datang
Angin surga sering datang
Kepala pusing kepanasan
Mau menangis tidak bisa
Ooh..apakah ini
Siapa yang tahu
Tak ada yang tahu
Seringkali kita terpaksa berfikir
Melihat orang yang menjadi gila
Sebab tak sanggup lagi menanggung
Beban hidup yang semakin berat
Seringkali kita terpaksa berfikir
Melihat orang yang menjadi gila
Sebab tak sanggup lagi menanggung
Beban hidup yang semakin berat
Seringkali kita terpaksa berfikir
Melihat orang yang menjadi gila
Sebab tak sanggup lagi menanggung
Beban hidup yang semakin berat
Seringkali kita terpaksa berfikir
Melihat orang yang menjadi gila
Sebab tak sanggup lagi menanggung
Beban hidup yang semakin berat

"Kesaksian Jalanan"
Kabut hitam mendatangi Indonesiaku
Mendung tebal memayungi Tanah tumpah darahku
Negeri kaya raya merana terlunta lunta
Dikhianati pengaku pengurus negeri ini
Pertiwiku terluka terkapar tak berdaya
Anak anak cucunya makin rakus menjarah
Kesaksian jalanan kesaksian nurani
Menghantui tidurku
Menyayat-nyayat sisa-sisa hidupmu
Pertiwiku terluka terkapar tak berdaya
Anak anak cucunya makin rakus menjarah
Kesaksian jalanan kesaksian nurani
Menghantui tidurku
Menyayat-nyayat sisa-sisa hidupmu

"Malioboro"
Jogjakarta ya..ya..yaaa..
Penuh cerita
Banyak orang-orang hilang arahnya
Orang datang dan pergi
Tak ada yang peduli
Masingmasing punya nasib sendiri
Jogjakarta..apa kabar.. (4x)
Malioboro ya..ya..yaaa..
Penuh cerita
Banyak orang-orang gila disana
Nyanyi-nyanyi menyanyi
Habiskan malam hari
Esok hari siapa yang peduli
Malioboro.. apa kabar.. (4X)
Jogjakarta ya..ya..yaa..
Aku di pelukanmu
Aku sudah tahu bau tubuhmu
Malioboro ya..ya..yaa..
Pernah jadi rumahku
Makin lama makin parah wajahmu
Jogjakarta.. apa kabar..
Malioboro.. apa kabar..
Jogjakarta.. apa kabar..
Malioboro.. apa kabar..
Jogjakarta.. apa kabar..
Malioboro.. apa kabar..
Jogjakarta.. apa kabar..
Malioboro.. apa kabar..
Jogjakarta.. apa kabar..
Malioboro.. apa kabar..
Jogjakarta.. apa kabar..
Malioboro.. apa kabar..

Selasa, 08 Mei 2012

Jas Merah Musik Indonesia

Oleh: Denny Sakrie

Guruh Gypsy (Foto: Koleksi Denny Sakrie)
Jakarta - Sungguh ironis, harta karun musik Indonesia yang melimpah ruah sejak dekade 50-an justru diabaikan atau tepatnya disia-siakan oleh pemiliknya sendiri: Siapa lagi kalau bukan kita bangsa Indonesia?

Dokumentasi dalam bentuk rekaman maupun tulisan tak pernah ditemukan dalam bentuk yang lebih fokus, semisal berada dalam sebuah wadah yang namanya Museum Musik. Kenyataannya benda-benda bersejarah musik Indonesia selama ini hanya bersemayam di rumah-rumah milik para kolektor. Kondisi yang sangat miris.

Data-data industri musik Indonesia mulai era 50an hingga sekarang amat sulit untuk dilacak. Kepedulian malah datang dari bangsa lain. Ambil contoh misalnya tentang buku katalog musik Indonesia yang justru ditulis oleh orang asing bernama Hans Pokora, orang Austria yang menulis buku bertajuk Record Collector Dream. 

Buku yang dianggap kitab suci bagi para kolektor musik, terutama piringan hitam dan kaset itu dibuat berseri dengan memuat berbagai album bergenre prog-rock folk, psychedelic rock, hingga world music. Selain itu, memasukkan juga beberapa album musik Indonesia di katalognya, antara lain Ariesta Birawa, Harry Roesli, Koes Bersaudara, Dara Puspita, hingga Guruh Gipsy.

Sejak terbitnya buku ini kegairahan para kolektor vinyl (piringan hitam) dari seantero jagad untuk berburu album-album yang tertuang dalam buku karya Hans Pokora itu kian menjadi-jadi. Bahkan sebuah label kecil di Jerman, Shadoks Music dengan berani merilis ulang album-album itu dalam bentuk CD dan vinyl tanpa izin dari komposer, pemusik serta label Indonesia. Keenan Nasution, drummer dan vokalis Guruh Gipsy lalu mengirim e-mail ke pihak Shadoks untuk menghentikan aksi barbariannya itu.

Beberapa waktu silam saya sempat dihubungi oleh Alan Bishop, pemilik Sublime Frequencies, label kecil dari Seattle Amerika Serikat yang telah merilis ulang album-album Koes Bersaudara, Koes Plus hingga Dara Puspita. Alan Bishop meminta saya dan sahabat saya David Tarigan, sosok penggiat rekaman indie yang juga peduli terhadap data back catalogue untuk menulis buku Katalog tentang musik Indonesia secara ensiklopedik.

Termasuk pula Jason “Mosh” Connoy, seorang kolektor dan pemilik label Strawberry Rain dari Kanada yang beritikad sama dengan Alan Bishop yaitu ingin membuat semacam buku katalog musik Indonesia terutama band-band pop maupun rock di era 60an hingga 70an.

Sebetulnya, itikad yang dicuatkan oleh Alan Bishop maupun Jason “Mosh” Connoy telah saya lakukan beberapa tahun sebelumnya dalam bentuk penulisan buku. Niat itu berangkat dari keprihatinan akan minimnya data-data industri musik di negeri ini.

Lalu bersama Komunitas Pecinta Musik Indonesia, saya menulis dan menjadi editor buku bertajuk “Musisiku” (2007) yang memuat sekita 40 biografi artis dan band Indonesia dari era 50an hingga 80an. Isi buku ini merupakan bunga rampai yang diambil dari rubrik berkala tentang musik Indonesia pada harian Republika.

Di tahun yang sama saya diminta Musica Studio’s untuk membuat semacam scrapbook untuk kemasan 21 album Chrisye dalam bentuk boxset bertajuk Masterpiece Chrisye. Di scrapbook itu saya menulis review serta behind the scene dari penggarapan album-album Chrisye dari tahun 1978 hingga 2004.

Saya juga menulis buku perjalanan karir Keenan Nasution dalam albumnya di tahun 2007 berjudul Apa Yang Telah Kau Buat. Di tahun 2008 saya mendapat pesanan dari Kementrian Pemuda dan Olahrga yang saat itu masih dijabat oleh Adhiyaksa Dault untuk menuliskan riwayat perjalanan musik pop Indonesia yang berlangsung pada komunitas musik Pegangsaan. 

Di era 60an hingga 70an Pegangsaan merupakan tempat ngumpul berbagai pemusik, aktor dan seniman yang pada akhirnya menetaskan sosok-sosok mumpuni dalam dunia seni seperti Guruh Soekarno Putera, Chrisye, Keenan Nasution, Eros Djarot, Achmad Albar, Christine Hakim, termasuk pemusik senior saat itu Mus Mualim dan Idris Sardi. Sayangnya buku yang bertajuk Jejak-Jejak Musikal di Pegangsaan itu belum juga diedarkan oleh Kementrian Pemuda dan Olahraga. Entah kenapa.

Sekarang ini saya tengah menyelesaikan beberapa buku tentang musik yang bersifat ensiklopedik dan historikal antara lain Ensiklopop Indonesia, Dheg Dheg Plas – Perjalanan Musik Koes Plus dan 50 Tahun Rock di Indonesia.

Penulisan buku musik yang bertumpu pada sisi historik memang bukan hal yang mudah, terutama riset data yang cukup panjang dan melelahkan. Saya sendiri berprinsip tak mau gegabah dalam menuliskan data, mulai dari data sosok artis, data rekaman dan peristiwa-peristiwa musik yang pernah terjadi di Indonesia. 

Contoh yang paling ekstrem adalah sejak era vinyl di awal dasawarsa 50-an, terutama sejak berdirinya label seperti Irama dan Lokananta, hampir tak pernah dicantumkan tahun rilis dan publisher sebuah album rekaman. Ini tentunya sangat menyulitkan untuk membuat buku yang berbentuk katalog apalagi ensiklopedi. Data-data personel dalam sebuah produksi rekaman pun sangat kurang bahkan tak ada dalam sampul albumnya.

Akhirnya beberapa alternatif jalan keluar berusaha saya dapatkan antara lain dengan meriset sejumlah media cetak hiburan yang terbit pada era itu. Dan lagi-lagi hal ini juga bukan pekerjaan yang mudah. Untunglah kerabat saya yang banyak berkutat dalam koleksi meng oleksi musik baik dalam bentuk kaset dan piringan hitam serta sejumlah majalah ikut banyak membantu. Tapi penggarapan buku pun menjadi tersendat-sendat. Buku Ensiklopop Indonesia saja telah melewati masa penggarapan hampir 3 tahun lamanya. 

Tapi the show must go on. Saya tetap merasa tercambuk untuk mewujudkan buku-buku sejarah musik Indonesia. Apalagi setiap berkunjung ke beberapa toko buku di Jakarta, hati dan jiwa saya selalu menggelegak manakala melihat tumpukan buku-buku referensi musik manacanegara yang silih berganti terbit dan terbit. Mereka pun menulis buku-buku itu secara komprehensif plus data-data historikal yang runut, detail dan akurat. Mereka tampaknya telah menyadari pentingnya arti sejarah atau dokumentasi dalam setiap sudut kehidupan.

Saya akhirnya mengeluh dan mengeluh tentang perilaku bangsa kita yang ceroboh dan tidak menghargai pentingnya sejarah dan dokumentasi. Saya pun mengangguk tentang akronim yang kerap dikoar-koarkan Presiden RI pertama Ir. Soekarno: JAS MERAH, JAngan Sekali-sekali MElupakan sejaRAH.


Sumber : www.rollingstone.co.id

Selasa, 22/11/2011 20:40 WIB

Soundwaves: Piyu, Hitler dan Fasisme

Oleh: Herry Sutresna

Jakarta - "Musisi mah harusnya maen musik ajalah, ga usah ngurus-ngurus politik" – surat pembaca nyampah di Harder Zine, 1999.

Ada waktu ketika musisi tak beda dengan bigot lainnya di muka bumi. Musisi juga manusia, pembenaran paling gampangnya. Pula bukan salah mereka kemudian musisi dianggap punya ruang lebih untuk komentar dan celetukannya lebih didengar dibanding orang biasa. Terima kasih pada budaya populer yang membuat ini memungkinkan. 

Eric Clapton dahulu kala sekali mempelopori celetukan bodoh yang membuat orang tak hanya menaikkan alis mereka. Ia berujar, di atas panggung pula, bahwa Inggris telah menjadi sangat sesak,overcrowded oleh imigran kulit hitam. Ia berteriak "Throw the wogs out! Keep Britain white!" dan kemudian menyerukan orang-orang untuk memilih Enoch Powell, seorang politikus rasis sayap kanan yang, dalam pemahaman Clapton, berguna untuk mencegah Inggris berubah menjadi koloni kulit hitam.

Persis pula saat David Bowie yang pernah melewati waktu menjadi asshole dengan kebodohan dukungannya bagi tiran fasis. I'm a big fan of Mr. Ziggy Stardust's music, namun saya tak bisa mengingkari kenyataan bahwa -meski di kemudian hari ia nyatakan sebagai kesalahan- ia pernah sepakat dengan totalitarianisme dan berujar bahwa "Britain could benefit from fascist leaders.”

Menjadi tak sekedar tertarik pada isi eksotis fasisme, Bowie memuja Hitler yang ia sebut sebagai ‘the first Pop star’ sampai-sampai mengoleksi barang-barang memorial zaman kejayaan Nazi. Menggelikan.

Bahkan, almarhum Johnny Ramone sekalipun, meski banyak orang mengidentikkannya sebagai bagian dari ikon punk, merupakan simpatisan Partai Republik, tepatnya George W. Bush.

Sungguh tidak ‘punk’.

Berteriak "God bless Bush, God bless America!" mendukung program fasistik “Perang Melawan Teror” khas Bush yang busuk itu, membunuhi ratusan ribu orang tak berdosa. Ia mungkin memainkan musik punk, namun pada kesehariannya ia tak banyak berbeda dengan kebanyakan white-supremacists / nasionalis mentok lainnya yang mengganggap Amerika adalah negara superior yang punya kekuatan memerangi siapa saja yang mereka pikir mengancam negaranya, bahkan dengan hanya berbekal bukti kosong yang tak pernah bisa dibuktikan sekalipun.

Dalam ruang dan waktu berbeda, fenomena yang terjadi disini tak jauh berbeda.

Hubungan gelap musisi dan rezim otoritarian memang sudah menjadi bagian dari sejarah kita, bukan lagi rahasia umum. Sejak hari pertama Suharto dan Nasution membangun emporium Orba, sejarah mencatat bahwa mereka melibatkan para musisi karena memang memerlukan media propaganda sempurna bagi agenda arsitek mereka yang pro-kolonialisme dan pemodal global dan kelak cetakbiru-nya dilestarikan selama puluhan tahun.

Sejak penghujung 60-an tercatat berbondong-bondong para seniman dan musisi yang kemudian bergabung di barisan itu. Serasa bebas dari cengkraman otoritarianisme budaya Orde Lama yang mengharamkan ngak-ngik-ngok, musisi Indonesia hanyut dalam plot pencitraan Orba yang cukup cerdik menggunakan budaya populer sebagai simbol pro-kebebasan dan demokrasi.

Dari mulai yang ikut kampanye ABRI sahabat rakyat dari panggung prajurit ke panggung prajurit lainnya saat mereka memburu sisa-sisa simpatisan PKI sampai ke pelosok, tampil di acara pengumpulan dana bagi kegiatan partai politik berkuasa (baca: Golkar), hingga membuat lagu puja-puji pro-rezim berkuasa.

Ah, siapa yang bisa melupakan lagu jilat pantat paling kolosal sepanjang sejarah republik ini berdiri; "Bapak Pembangunan" dari Titik Puspa itu?

Mengingat betapa horornya proses deideologisasi dan depolitisasi seni saat itu yang seiring dengan pemberangusan musisi-musisi kritis, pada titik yang paling pragmatis kita bisa memaklumi mereka yang bekerja (sama) untuk rezim.

Paling tidak untuk alasan keselamatan dan keamanan. Begitu pragmatisnya zaman itu sehingga ketika era itu berakhir sekalipun konon banyak orang yang merindukan zaman Indonesia diberaki otoritarianisme Suharto.

Zaman berganti. Di zaman orang bebas mau ngomong apapun juga seperti sekarang nampaknya agak aneh melihat kelakuan para musisi yang tetap bekerja untuk rezim berkuasa meski kadar fasis-nya dipermak dengan bungkus yang berbeda dan terlihat lebih ‘reformis’.

Secara tidak langsung membuktikan posisi keberpihakan mereka yang bebal dan oportunis klasik khas kelas menengah. Mereka tahu betul posisi pencitraan mereka bisa digunakan untuk mendulang suara di era caleg-calegan seperti sekarang. Untungnya memang musisi-musisi itu adalah mereka yang musiknya tak pernah kita gubris.

Untuk mendengarkan musiknya saja kita ogah apalagi mempercayakan suara kita di gedung parlemen (meskipun kebanyakan dari kita tak pernah masuk lobang hitam TPS a.k.a najis mencoblos). Kita patut bersyukur pada Tuhan bahwa Ahmad Albar tak pernah mencalonkan diri jadi caleg, atau Ucok AKA almarhum semasa hidupnya tak pernah tertarik ikutan pilkada.

Fenomena sedikit berbeda namun cukup mengagetkan terjadi beberapa minggu kemarin ketika saya menemukan satu wawancara gitaris Padi, Piyu, di sebuah situs majalah online yang link-nya diberi seorang kawan.

Tidak tanggung-tanggung ia berujar, "Saya pengen pemimpin seperti Hitler. Walaupun memang ada sisi negatifnya, dia membangkitkan rasa kebangsaan, nasionalisme yang begitu besar. Kita belum punya pemimpin seperti itu, yang ada malah klemar-klemer.”

Ini cukup aneh. Pertama, karena ini komentar yang lahir dari seseorang yang juga besar di era penindasan Suharto. Secara tidak langsung ini berarti penindasan selama Orba dulu belumlah cukup untuk Indonesia.

Seperti kita tahu, sepositif apapun Suharto dahulu, tak pernah bisa membayar kebrutalan rezim itu dengan cara militeristiknya menguasai Indonesia, menghasilkan korban jutaan jiwa, warisan sumber daya alam yang ludes dirampok korporasi, hutang yang luar biasa bagi Indonesia dan warisan dekadensi sosial politik lainnya. Dan ternyata itu tak cukup, menurut Piyu, kita memerlukan yang lebih brutal lagi; Hitler.

Kedua, komentar Piyu ini tercetus di zaman seperti sekarang dimana insureksi global menyeruak di seluruh pelosok dunia. Era dimana para tiran yang awet menghegemoni puluhan tahun rontok satu-satu.

Dimulai di Tunisia merembet ke Aljazair, Libya, memberi letupan di Yaman, Yordania, Bahrain, Suriah dan tentunya Mesir dimana fenomena Tahrir Squre-nya memberi inspirasi dan mempopulerkan metode aksi baru bernama occupy yang bergejolak di hampir seluruh dunia.

Memimpikan bangsa dipimpin despot di era insureksi akar rumput global seperti sekarang ini sama dengan memimpikan musik hiphop nasional berkiblat pada Milli Vanilli di era MC super jenius seperti Eminem merepet ribuan bar.

Secara tidak langsung pula, menurut Piyu, solusi dari ledakan demokrasi yang membuat kita semrawut seperti sekarang ini ternyata bukan terletak pada kekuatan rakyat yang menguat dan semakin sadar untuk perlu mengorganisir diri mereka sendiri tanpa kebigot-an seorang pemimpin, namun terletak pada betapa ternyata kita butuh pemimpin yang tidak klemar-klemer, seperti Hitler. Sekali lagi; Hitler. (Jika Hugo Chavez mungkin agak dimaklumi lah). 

Saya tak begitu paham apa yang ada dibenak Piyu mengatakan itu, entah apakah karena ia terpengaruh David Bowie, Eric Clapton atau Johnny Ramone atau hal lain. Wawancara itu sendiri cukup singkat, tak memberi ruangan banyak untuknya menjelaskan lebih spesifik.

Namun apapun itu, mengidamkan kepemimpinan otoriter untuk progresifitas itu salahsatu kesesatan berpikir para kelas menengah yang paling ngehe.

Pahamkah ia bahwa kepemimpinan militeristik seperti itu hanya bisa dicapai melalui proses penyeragaman massa. Orde Baru dahulu memakai adagium “Menuju Manusia Pancasila Seutuhnya" yang mirip "Manusia Aria" dalam bahasa Hitler. Yang pada prakteknya proses tersebut selalu menggunakan kekerasan.

Dalam wawancara itu ia pun berujar bahwa seorang pemimpin bisa membangkitkan rasa nasionalisme dan kebangsaan dengan berbagai cara dan tak harus dari militer.

“Seperti Hitler, dia seorang seniman dan sipil, tapi dia bisa.”

Memang agak sulit dibayangkan ini keluar dari buah pikir seorang musisi yang karyanya dihormati banyak kalangan. Karena memang kita selalu beranggapan bahwa musisi hebat juga adalah orang yang paham bahwa militerisme itu ngehe.

Tak peduli dilakukan oleh militer atau bukan, militerisme adalah bentuk paling solid dari ide-ide totalitarian. Sama sesatnya dengan berpikir bahwa penyerangan terhadap gerakan pro-demokrasi itu oke selama dilakukan oleh PAM Swakarsa.

Saya akan selalu mengkonter argumentasi depolitisasi musik mirip komentar nyampah di surat pembaca zineHarder dahulu yang saya kutip diatas. Toh musisi atau bukan, sikap politik adalah sesuatu yang tak bisa dihindarkan. Bahkan memutuskan untuk tidak berbuat dan berkata sesuatu sekalipun adalah sikap politik. Tapi yah, konsekuensinya memang akan selalu ada waktu dimana musisi tak ada bedanya dengan banyak bigot diluar sana. 

Bukan salah Piyu pula bahwa mereka yang mengagumi musiknya punya anggapan seharusnya ia main musik sajalah, karena pandangan politiknya ternyata tidak se-progresif album Save My Soul.

Bagi yang tidak terima dan tak percaya bahwa itu ternyata komentar Piyu mari kita ambil enaknya sajalah; Piyu tidak salah, mari kita salahkan wartawan yang mewawancaranya. Pasti wartawannya yang salah kutip.

Yang paling pasti sih, sampai kiamat pun fasisme (atas nama nasionalisme dan kebangsaan sekalipun) adalah salah satu inovasi terbodoh yang pernah manusia buat.

Fascism is not cool, and will never be.

----------------------
*Penulis juga dikenal sebagai Ucok dari grup hip-hop Bandung yang kini telah bubar, Homicide. Ini merupakan kolom ketiga Ucok di Soundwaves RollingStone.co.id.


Sumber : www.rollingstone.co.id
Kamis, 15/03/2012 15:33 WIB